Kamis, 16 April 2009

Ita Diana, Menyungkit Songket Melestarikan Budaya



448: Beginilah menyungkit songket





Ita Diana

Melestarikan Songket, Melanggar Tradisi

Pembuatan songket ternyata tak semudah dibayangkan. Bukan sekedar menenun seperti sering kita lihat, seorang wanita menenun kain songket dengan lincahnya. Meskipun, itupun membutuhkan waktu paling tidak seminggu.

Sebelum menenun, ternyata ada langkah awal yang harus dilakukan untuk bisa menghasilkan songket. Proses inilah yang menentukan seperti apa motif songket itu nanti jadinya. Tahap inidisebut dengan proses menyungkit atau membuat motif.

Di Sumsel, tak banyak yang bisa menyungkit ini. Karena memang pengetahuan dan keterampilan ini diturunkan turun-temurun. Itupun tidak semua keturunan bisa mendapatkan nasib baik diajari menyungkit.

Karenanya, penyungkit ini jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Mereka berada di perkampungan orang-orang asli Palembang seperti di Tanggabuntung dan 3-4 Ulu Palembang.



Seorang penenun sedang mengerjakan tenunan songket motif buatan Ita Diana



Diantaranya, Ita Diana. Wanita kelahiran Palembang ini mendapat keahlian menyungkit dari neneknya. Tepatnya, adik dari kakeknya, almarhumah Nenek Imah. Dari cucu-cucu lainnya, dia beruntung karena mendapat kepercayaan dan kesempatan untuk belajar mencukit. Meski harus mengorbankan sekolah.

Istri Ismail ini, mendapatkan kemampuan mencukit jugatidak mudah. Bertahun-tahun dia belajar.
Ibu dari M Ajid Sidik, Enha Anggi Pratama, dan M Balya ini pun tidak menurunkan kemampuannya kepada keturunannya. Karena memang dia tak punya anak wanita.

Ditemui dikediamannya di kawasan 3-4 Ulu, Palembang, Ita menceritakan bahwa, desain songket biasanya terdiri dari teretes, hiasan pinggiran (tepi), tawur, rebung, apit, rumpak, ombak, kembang/tumpal.

Untuk kembang atau tumpal, bisa berupa motif naga besaung nampan perak, bungo cino, ulir, ataupun kembang pacar. Khusus untuk kembang/tumpal tidak boleh diganti. Sudah menjadi pakem, kalaupun mau memodifikasi, biasnya di bagian yang lain.

Proses pembuatan songket, menurutnya dimulai dari nyucuk suri, ngelak, pencukitan (membuat motif). Setelah itu baru menenun.

Bagi Ita sendiri, dia bukan sekadar membuat motif songket Palembang tetapi juga mengerjakan motif songket Jambi yang punya ciri khas tersendiri. Yang biasnya bermotif emong kuncai, kembang duren dan angso suo

Ukuran songket biasanya 90 cm x 2 meter. Untuk songket biasnya dibutuhkan 7 tukel benang. Nantinya, bisa menjadi 3 kain songket. Mengerjakannya bisa sepuluh hari.


Ita Diana menunjukkan songket hasil kreasinya pesanan seorang pejabat di Jakarta.




Mengerjakan songket, mulai dari proses pembuatan motif tidak sedikit. Diantaranya, kuda-kuda (kudo dayan), apit, penyuncing, beluro, por, suri, dan teropong. Juga dibutuhkan banyak lidi, terutama dalam pembuatan motif.

Penggunaan lidi, sedikitnya 170 batang untuk satu songket. Rinciannya,, teretes 21,
tawur 12, rebung 60, rumpal/bunga api 8-10, ombak 9, kembang/tumpal 25-60.
Diungkapkan Ita, lidi-lidi ini biasanya dibeli dari pengrajin rokok gudung. Seikat seharga Rp 2.000 berisi sekitar 500 batang.

Motif songket ini sendiri, setelah selesai dibuat nantinya bisa digunakan untuk menenun sedikitnya 500 songket. Namun kalau tidak terawat dan tidak telaten, bisa-bisa hanya bisa untuk tiga songket. ”Bergantung kepada penenunnya,” ujarnya.
Upah membuat motif ini sendiri, saat ini berkisar Rp 225.000 hingga Rp 250.000. Bergantung kerumitannya. Hanya saja, pembuatan motif ini masih menemui kendala karena berbagai faktor. Diantaranya, masih minimnya keinginan orang untuk belajar. Juga minimnya modal untuk membuat motif, sehingga pembuatan motif baru dilaksanakan jika ada yang memesan.

Beberapa tahun terakhir, jumlah pembuat motif ini sebenarnya bisa dihitung dengan jari. Itu karena fakor-faktor tersebut ditambah adanya aturan bahwa pembuatan motif ini hanya bleh diturunkan kepada keturunan.


Bagi Ita sendiri, dia merasa tak masalah mengajarkan teknik pembuatan motif itu. Karenanya, ketika ada tawaran dari Disperindag untuk mengajar di kursus pembuatan motif, dia tak berkeberatan. Juga beberapa even lainnya yang dilaksanakan oleh berbagai organisasi dan disponsori berbagai perusahaan.

Melalui Disperindag saja, dia sudah tiga kali dilibatkan. Termasuk ke berbagai daerah, seperti Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Ilir (OI). Hasilnya, kini sudah puluhan penyungkit baru kini telah lahir. Termasuk di kampungnya, yang pelatihannya melalui kelurahan.


Mengajar program Disperindag 3 kali sudah tiga kali, sedikitnya mengajari 60 orang. Ditambah di kelurahan, sebanyak 25 orang. Kini mereka sudah produktif. Beberapa rumah tenun di Palembang, bahkan pesanan-pesanan dari luar daerah memang telah memanfaatkan jasa penyungkitan tersebut. (sh/muhamad nasir)


Sisi Lain

Biaya Seharga Satu Suku Emas


Ita Diana mengawasi seorang anak didiknya sedang mengerjakan pencukitan songket....




Belajar mencukit bisa dengan dua cara. Secara privat atau ikut program yang dilaksanakan dinas/instansi atau organisasi tertentu.

Hasilnya memang tak sama. Karena biaya dan waktu belajar pun memang berbeda. Untuk yang privat, Ita mematok harga tertentu. Inipun sesungguhnya sudah berlaku secara umum di Palembang. Yakni, biayanya seharga satu suku emas atau 6,7 gram.

Saat harga emas naik seperti sekarang ini, bisa mencapai Rp 2 juta. Belajarnya, selama tiga bulan dengan belajar sekali seminggu. Mulai dari nyucuk suri, ngelak, pencukitan (membuat motif) sekaligus menenun.

Sementara kalau ikut program, hanya dua kali pertemuan. Biasanya, cocok untuk mereka yang pernah memiliki kemampuan menenun. Sehingga punya kemampuan dana pengetahun dasar tentang songket menyongket.

Bagi Ita, untuk kursus-kursus ini dia biasanbya dibayar Rp 500 ribu dengan murid paling banyak 20 orang. Kalau dibanding belajar privat tentu tak seimbang. ”Tetapi, manfaatnya tentu songket bisa lebih lestari,” ujarnya. (muhamad nasir)