Minggu, 21 November 2010
Sultan yang Bertahan Tanpa Istana dan Kekuasaan
PEMASANGAN PIN GUGUK RIMBO BEDEGUNG KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM 2007
*Raden Muhammad Sjafei Diraja
Palembang:
Kesultanan Palembang Darusalam memang tak ada lagi. Namun perkembangan yang terjadi di negeri Palembang Darusalam yang dinilai kian lama menuju kehancuran dan perpecahan, khususnya soal adat istiadat, tata krama dan sopan santun, menjadi alasan diperlukan upaya membentuk Palembang sebagai negeri keselamatan.
Ini sebagaimana harapan Sultan terdahulu bahwa Negeri Palembang Darussalam adalah Negeri Keselamatan terhadap semua makhluk Allah Swt baik di dunia maupun di akhirat.
Maka bermusyawarahlah toko adat, sesepuh dan tetuo Palembang Darussalam pada tanggal 22 Dzulhijah 1423 H atau tepatnya 24 Februari 2003. Saat itu di acara yang digelar di Auditorium IAIN Palembang, hadirlah sedikitnya 175 tokoh adat dan tokoh masyarakat dari 1 Ulu hingga 16 Ulu dan 1 Ilir hingga 36 Ilir. Intinya, mereka sepakat timbulkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam yang telah hilang selama 182 tahun.
Untuk merealisasikan kelahiran kesultanan, dibentuklah Majelis Musyawarah Adat Palembang Darussalam. Tugasnya, menggali, melestarikan adat istiadat, tata krama, sopan santun di negeri Palembang Darussalam.
Untuk itu, dibutuhkan seorang figur yang dianggap pantas menjadi Sultan Palembang Darussalam.
”Jadi, sultannya memang hanya berhubungan dengan pelestarian adat istiadat, tata krama, dan sopan santun,” ujar Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diraja, yang kemudian terpilih.
Dalam sebuah acara di Kesultanan Riau
Saat itu, mencari sosok dimaksud tidaklah mudah. Karena banyak yang merasa berhak menjadi pewaris dan menjadi Sultan Palembang Darussalam serta mengaku-ngaku zuriat dari sultan.
Agar mendapat sosok yang dianggap cukup tepat, Majelis Musyawarah yang telah terbentuk empat hari kemudia menetapkan beberapa persyaratan bagi calon sultan. Terdiri dari persyaratan pokok dan tambahan.
Persyaratan pokok yang disepakati pada 28 Februari 2003, beragama Islam, termasuk keluarganya. Berasal dari zuriat Sultan Palembang Darussalam dengan menunjukkan silsilah dan makam zuriatnya dengan jelas dan bersedia disumpah. Lalu, memiliki bukti amanah berupa benda-benda peninggalan dari Sultan Palembang Darussalam.
Sementara persyaratan tambahan ada delapan poin. Yakni, dikenal masyarakat Palembang dan kesultanan lainnya. Dapat menodorong semangat kesatuan danpersatuan masyarakat Palembang Darussalam. Peduli terhadap peniinggalan kesultanan. Tidak terlibat, baik langsung maupun tak langsung terhadap perusakan atau penjualan aset peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam. Berani berkorban untuk kemajuan dankebanggaan zuriat Kesultanan Palembang Darussalam. Bertempat tinggal dan mengenal negeri Palembang. Berpendidikan tinggi, minimal SMA. Dan berpengalaman dalam berorganisasi.
Hasilnya, menurut Sultan Prabu Diraja, masuklah empat nama yang dianggap layak. Keempatnya, RHM Djohan Hanafiah bin Ali Bin Amin, Raden Muhammad Sjafei Diradja, Raden Rahman Zeth, dan RM Mansyur Yan.
Majelis yang ditugaskan kemudian meneliti, menilai dan memusyawarahkan. Hasilnya, mufakat pada 2 Maret 2003 berdasarkan SK Majelis Musyawarah Adat Palembang Darussalam No 001/12/1423 ditetapkan, Raden Muhammad Sjafei Diradja sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badarudin III Prabu Diradja.
Sebagai sultan, Sjafei Diradja yang ssat itu bertugas di Polda Sumsel, memiliki stempel/cap dan Alquran tulis tangan milik Sri paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badarddin.
Alumni Akabri Kepolisian angkatan 1974 ini kemudian menerima jabatannya sebagai sultan. Tugasnya sebagai sultan dilaksanakannya di sela-sela tugasnya sebagai Karo Binamitra Polda Sumsel.
”Memang sejalan sebenarnya tugas di kepolisian sebagai Binamitra dan sebaga sultan. Sehingga saya tak merasa kesulitan,” ujar suami dari Raden Dewi Muslihat ini.
Ayah dari Raden Ayu Ratih Rania Kerama Diradja, Raden Ayu Ratna Mutia Kerama Diradja, dan Raden Muhamad Fauwaz Diradja ini memang berusaha menjalankan amanat yang dipercayakan tersebut.
Ditanya apa motovasinya, atau apakah punya gaji sebagai sultan, dia menjawab bahwa motivasinya untuk melestarikan dan menjaga warisan leluhur. ”Soal gaji, kalau kita tulus dan ikhlas bekerja, pasti dapat imbalan. Saya dapat gaji lho,” ujarnya bergurau.
”Tapi gajinya dari Yang Maha Kuasa, ” sambung mantan Kapolsek 30708 Lima Kaum, Batusangkar ini. Beberapa jabatan pernah diemban purnawiwaran yang terakhir berpangkat Kombes ini. Diantaranya, Kapolsekta Coblong Bandung, Polda Jabar, Kaden PJR Satsabhara Pold Jabar, lalu Wakapolres Garut.
Setelah itu, berkarier di Polda Sumsel, mulai dari Sesdit Log, Kabid Telematika, Kabid Kum, dan terakhir Karo Bina Mitra.
Diakui Sultan yang kini menempati kediamannya di Jl Sultan M Mansyur No 776 Kel 32 ilir ini sebagai istana, sebagai sultan dia menyadari bahwa tak memiliki kekuasaan dan istana. Di ruang tamunya terlihat singgasana dan perlekapan keraton.
”Makanya, istananya ya di kediaman. Sebagai sultan juga tak punya waktu kerja. Pooknya 24 jam, ya harus siap. Terutama untuk kegiatan-kegiatan adat, seperti perkawinan, acara yang digelar guguk serta menobatkan dan memberi gelar kehormatan,” jelasnya.
Ketika masih aktif di kepolisian. Masih gagah...
Hasilnya setidaknya sudah ada tak kurang dari 400 guguk sudah dibentuk di berbagai wilayah. Guguk itu, perhimpunan warga Palembang yang tinggal di suatu daerah/tempat.
Selain itu, dia juga mengusulkan gambar Sultan Mahmud badaruddin II di mata uang RI dan tahun 2005 Bank Indonesia mnegeluarkan pecahan Rp 10.000 bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II.
Lalu, dia pun menjadi Ketua Wilayah Forum Silaturahmi Keraton Nusantara Wilayah Sumsel. Menghadiri pelantikan sultan-sultan maupun raja-raja nusantara. Termasuk menghadiri Festival Keraton Nusantara di Tenggarong, Kutai Kertanegara dan Yogyakarta.
Sementara pemberian gelar kehoramatan, diantaranya kepada Jend TNI (Purn) Wiranto, Jenderal Polisi (Purn) Dai Bakhtiar, Ketua DPR RI Marzuki Ali, mantan Ketua DPR RI Agung Laksono, Wagub Sumsel Eddy Yusuf. Termasuk Walikota Palembang Eddy Santanaputra, Wawako Palembang H Romi Herton, dan Bupati OKU H Yulius Nawawi.
Saling Mendukung
Punya dua jabatan yang berbeda, sebagai anggota polisi dan sultan, bagi Prabu Diradja tidak lah menjadi persoalan. Hanya saja, memang terkadang untuk kegiatan-kegiatan tertentu dia harus izin dari kedinasan. ”Kalau diizinkan saya laksanakan. Terutama yang untuk ke luar daerah. Tapi selama bertugas dulu, biasanya diizinkan.,” jelas mantan anggota DPRD Sumsel ini.
Sementara untuk tugas di wilayah Sumsel, bisa digandengkan dengan tugasnya sebagai Bina Mitra. ”Kebetulan memang tugas saya di bidang urusan pembinaan masyarakat. Jadi bisa digandengkan,” kata alumnus SDN 23 Palembang, SMPN 1 Palembang, dan SMAN 2 Palembang ini.(sh/muhamad nasir)
Sisi Lain
Dualisme
Meski tanpa istana dan kekuasaan, terjadi dualisme dalam jabatan Sultan Palembang Darussalam. Yang pertama, versi Sjafei Diradja, yang dinobatkan di Mesjid Lawang Kidul oleh Majelis Musyawarah Adat Palembang Darussalam pada 3 Maret 2003.
Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dari Keraton Palembang Kamis (11/11)
memberikan pengarahan kepada para 400 laskar keraton Kesultanan Palembang
Darusalam yang akan turut menyukseskan Festival Keraton Nusantara (FKN) VII di
Palembang, 27-28 November mendatang.
Yang kedua, versi Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang dinobatkan di Benteng Kuto Besak oleh Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam pada 19 November 2006. Sultan kedua ini berlatarbelakang pengusaha dan aktivis pemuda. Dia kini menjadikan tempat tinggalnya di Jalan Torpedo Sekip ujung, sebagai keraton. Sebuah singgasana disiapkan di ruang tamunya.
Even berskala nasional digelar oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Yakni Festival Keraton Nusantara VII pada 26-28 November 2010. Sedikitnya 108 sultan dan raja dari nusantara maupun negeri tetangga dipastikan hadir.
Selama ini belum ada gesekan berarti terhadap keberadaan dua sultan ini. Tetapi ibarat pribahasa, tak ada dua nakhoda dalam satu kapal, diperlukan mempersatukan dua sultan ini.
”Karena kalau kedua biarkan saling mengungkapkan kebenaran terus menerus, pada akhirnya nanti akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Jangan sampai jatuh korban baru pihak terkait turun tangan. Mereka paling tidak harus duduk satu meja,” ujar Edi Yulizar, seorang warga Palembang.
”Kami tidak mau nanti punya sultan yang saling cakar-cakaran,” tambahnya. (sh/muhamad nasir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus