Rabu, 25 Februari 2009
Pasar 16 Ilir Palembang
Sumber: KITLV
Kawasan Tengkuruk tahun 1935, setelah penimbunan.
Pasar 16 Ilir
Belanda Saja Memberi Tempat
PENGGUSURAN pedagang kaki lima di kawasan eks-Pasar 16 Ilir saat ini sungguh miris. Dalam sejarahnya, Belanda (sebagai penjajah) sangat disiplin dalam penataan ruang. Namun, mereka masih memberikan kesempatan kepada rakyat di tanah jajahan untuk mencari nafkah. Hanya, polanya yang diatur. Lebih rapi, bersih, aman, dan nyaman.
***
SEBELUM "campur tangan" Kolonial Belanda terhadap alam di Palembang, sebelum abad ke-20, kawasan Pasar 16 Ilir (saat ini) dahulunya merupakan pemukiman tepian sungai. Di kawasan itu, terdapat Sungai Tengkuruk, yang merupakan salah satu anak Sungai Musi, yang salah satu bagiannya bertemu dengan Sungai Kapuran. Sementara Sungai Kapuran, bertemu pula dengan Sungai Sekanak (Peta Situasi Peperangan Palembang-Belanda; Sejarah Perjuangan Sri Sultan Mahmoed Baderedin Ke II; R.H.M. Akib; 1980).
Sebagaimana sifat orang Melayu Palembang, kawasan tepian sungai --terutama Sungai Musi-- merupakan lokasi "favorit" untuk pemukiman. Pilihan ini juga merupakan "pilihan cerdas" mengingat saat itu jalur transportasi adalah air. Perahu-perahu yang berasal dari pedalaman (hulu) dengan tujuan utama berdagang, menjadikan Sungai Tengkuruk sebagai tempat singgah. Hingga sekitar tahun 1910, Sungai Tengkuruk masih "normal".
Di atas sungai itu, terdapat jembatan dan tangga-tangga yang menghubungkannya dengan daratan. Jika dilihat dari arah pertigaan Jl. Masjid Lama (saat ini), di sepanjang tepian sungai sebelah kiri, berjajar pertokoan. Sedangkan di bagian kanan, tampak rumah-rumah panggung.
Di bagian lain sungai itu, tampaklah tangga raja (hingga kini masih dinamakan demikian meskipun sudah tak ada lagi sungai dan tangganya). Tangga ini berfungsi sebagai tempat naik turunnya para pembesar Kesultanan Palembang Darussalam.
Seperti lazimnya perkembangan pasar saat ini, perdagangan di Pasar 16 Ilir berawal dari "pasar tumbuh", yang terletak di tepian Sungai Musi (sekarang Gedung Pasar 16 Ilir Baru hingga Sungai Rendang, Jl. Kebumen). Pola perdagangan di lokasi itu, setidaknya hingga awal 1900-an, dimulai dari berkumpulnya pedagang cungkukan (hamparan), yang kemudian berkembang dengan pembangunan petak permanen.
Untuk kawasan Pasar Baru (hingga kini masih bernama Jl. Pasar Baru), yang saat itu sudah berderet bangunan bertingkat dua, yang bagian bawahnya menjadi tempat berjualan. Los-los mulai dibangun sekitar tahun 1918 dan dipermanenkan sekitar tahun 1939.
Sumber: KITLV
Kawasan Tengkuruk tahun 1935, setelah penimbunan.
Sementara itu, muara Sungai Rendang, menjadi salah satu "dermaga" pilihan perahu kajang (perahu beratap) berlabuh. Perahu, yang sekaligus menjadi tempat tinggal, ini membawa hasil bumi dari daerah di hulu Sungai Musi untuk diperdagangkan di Pasar 16 Ilir. Ini terjadi setelah pengembangan ekonomi dan kawasan, didahului pembangunan Pasar Sekanak yang masa itu disebut sebagai Pasar Ikan, tidak lama setelah penguasaan Belanda atas Palembang, tahun 1821.
Pusat Ekonomi
SEKIRANYA tidak terjadi perang Palembang-VOC pada tahun 1658 dan 1659, barangkali "pusat kota" Palembang bukan di 16 Ilir dan sekitarnya. Setelah Keraton Palembang dibakar habis oleh VOC pada 1659, penguasa Palembang kala itu --Sido Ing Rajek—menyingkir ke Inderalaya.
Adik Sido Ing Rajek, Ki Mas Hindi Ario Kesumo Abdurrohim (Candiwalang), kemudian berkuasa setelah terjadi kekosongan pemerintahan akibat Sido Ing Rejek menolak kembali ke Palembang. Selanjutnya, Candiwalang memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Beringin Janggut (saat ini), membangun Kuto Cerancang atau Kuto Tengkuruk. Dia pun menjadi Sultan pertama setelah melepaskan "ikatan' ideologis dengan Mataram. Sultan pertama Kesultanan Palembang Darussalam ini bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Iman.
Pada masa inilah, didirikan masjid, semacam alun-alun sebagai tempat beristirahat (kini Jl. Beringin Janggut), segara (kolam) di kawasan yang sekarang masih memakai nama-nama itu sebagai nama jalan. Misalnya, nama Beringin Janggut, diyakini sebagai bagian taman tempat tumbuhnya pohon beringin, yang karena tuanya sampai ber-"janggut" (akar gantung). Jalan Segaran diyakini merupakan bagian kolam (?) atau tempat orang beristirahat sehingga menjadi segar. Dan Jl. Masjid Lama, adalah lokasi berdirinya masjid sebelum Masjid Sulton (sekarang, Masjid Agung Palembang) dodirikan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.
Kotapraja (Gemeente) –kemudian dilafazkan lidah Palembang sebagai Haminte-- melakukan beberapa kebijakan pembangunan. Dibangunlah semacam taman di Talangsemut, pusat perdagangan di 16 Ilir, pelabuhan di Sungai Rendang, serta pusat perkantoran di sekitar Benteng dan Tengkuruk. Kebijakan ini termasuk rencana pembuatan boulevard atau bulevar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bulevar berarti jalan raya, yang biasanya ditanam pepohonan di kiri dan kanannya.
Untuk merealisasikan itu, Sungai Tengkuruk ditimbun pada tahun 1928. Di atasnya, dibangunlah jalan dalam dua jalur. Di bagian kiri --jika dilihat dari arah Sungai Musi, tampaklah jajaran pohon dan kanannya, bangunan dua tingkat, yang merupakan perkantoran. Bentuk serupa ini dapat disebut bulevar.
http://www.facebook.com/home.php?#/note.php?note_id=53051958110&ref=nf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar