Selasa, 17 Maret 2009

Pasar 16 Ilir Palembang

Zaman Belanda, Palembang Sudah Ber-BG








Sumber: KITLV
Pelat Nomor Polisi "BG" di Jalan Pasar Tahun 1930.



oleh Yudhy Syarofie


MAKMUR meskipun di tanah jajahan. Begitulah yang dirasakan rakyat Sumatera Selatan, saat harga karet melambung-lambung hingga dua dasawarsa abad ke-20. Kawasan 16 Ilir menjadi saksi atas kemakmuran yang luar biasa itu.
* * *
DENGAN tingkat kemakmuran yang tinggi ini, rakyat Keresidenan Palembang –terutama kawasan di Sumatera Selatan penghasil getah karet (Hevea Brasiliensis) itu sudah terbiasa mendengarkan piringan hitam yang diputar pada gramafon dari berbagai merek, seperti Edison, Polydor, dan His Masters Voice. Bagi yang senang dengan fotografi, tersedia pula kamera foto. Semua produk “mewah” itu diiklankan di surat kabar lokal, seperti Pertja Selatan, Pewarta Melajoe, atau Kemudi.
Bagi warga yang sudah melek huruf dan mampu membaca koran, iklan itu pun memikat hati mereka. Didatangilah pertokoan di Pasar 16 Ilir untuk membeli bermacam barang itu. Tidaklah heran, apabila kemudian, setelah bertransaksi getah karet dengan para penampung, juga bank-bank yang berada di kawasan itu, para toke karet ini mengangkut beragam barang mewah ke kampung mereka. Sebagai catatan, pendirian bank-bank niaga di kawasan ini –seperti diulas pada tulisan terdahulu—dipicu oleh semakin membaiknya perekonomian di keresidenan ini.
Bisnis perkaretan di Palembang, pada masa awal abad ke-20 ini sangat menjanjikan. Apalagi setelah terjadi rubber booms antara tahun 1914-1915. Kondisi ini makin meningkat setelah tahun 1920-an. Tak heran, banyak orang kaya di Keresidenan Palembang berkat bisnis getah dari tanaman yang dibawa dari Singapura oleh jemaah haji asal Palembang itu. Tanaman yang berasal dari Desa Para –nama desa ini kemudian melekat sebagai salah satu sinonim pohon karet—yang berada di Brasil sana.




Sumber: KITLV
Mobil berpelat BG dalam kondisi foto utuh.




Sebetulnya, bukan hanya bisnis di Keresidenan Palembang yang “meledak” akibat getah karet. Tercatat, beberapa daerah lain di wilayah Hindia Belanda mengalami hal yang sama. Ini pun menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda, yang pada Oktober 1924 mendirikan suatu badan yang dinamai De Native Rubber Investigation Commissie untuk melakukan semacam penelitian mengenai kondisi perkaretan di negeri jajahannya ini. Termasuk pula, berapa besar penghasilan yang didapat perusahaan eksportir. Hal itu terjadi akibat terjadinya lonjakan permintaan getah karet pada masa 1920-an. Hasil penelitian itu kemudian diterbitkan dalam sebuah laporan berjudul De Bevolkingscultuur in Nederlandsch Indie (Pertja Selatan; 7 Oktober 1927).
Sebagai gambaran, dapat dilihat pada data ekspor karet pada tahun 1919-1926;

Tahun Ekspor Basah (ton) Ekspor Kering (ton) Harga (juta rupiah)
1919 13.000 - -
1920 10.000 - -
1921 6.000 - -
1922 25.000 20.000 15
1923 53.000 40.000 50
1924 86.000 56.000 70
1925 128.000 83.000 250
1926 128.000 85.000 180
Sumber: Pertja Selatan, 7 Oktober 1927
Catatan: mata uang yang dipakai, rupiah.
Surat kabar yang terbit di Palembang ini juga menampilkan data mengenai besaran ekspor karet di Indonesia, berdasarkan Keresidenan, pada tahun 1927 per Januari-September.

Keresidenan Ekspor Kering (ton) Ekspor Basah (ton)
Borneo Barat 21.133 16.906
Borneo Selatan dan Timur 26.299 15.780
Jambi 30.511 15.256
Palembang 17.037 11.951
Sumatera Timur dan Aceh 16.648 11.154
Riau dan Daerahnya 7.863 6.984
Tapanuli 3.528 3.175
Bangka 2.163 1.449
Bengkulu 953 638
Sumber: Pertja Selatan, 7 Oktober 1927

Palembang Punya “BG”
DALAM situasi ini, rakyat Keresidenan Palembang yang semula sangat lekat dengan budaya tepian sungai (riverine culture) mulai kenal dengan budaya “daratan”. Sebagian dari mereka yang diuntungkan oleh bisnis getah karet kemudian seolah berlomba membeli mobil. Selain distributor mobil yang menyediakan beragam merek mobil di Jl. Tengkuruk, sebuah perusahaan dagang –istilah sekarang, agen tunggal pemegang merek—mobil Ford, bahkan kemudian mendirikan ruang pamer (show room) di kawasan Sungai Rendang, yang terletak di sebelah hilir 16 Ilir.
Dalam tahun 1920, mobil pribadi belum sampai 300 unit. Namun, pada tahun 1927, jumlahnya meningkat sampai 3.475 unit, terdiri atas berbagai merek, yaitu Ford, Albion, Rugby, Chevrolet, dan Whitesteam.
Saat ini, pasaran mobil demikian pesat. Dua perusahaan mobil Amerika, seperti dimuat dalam iklan di surat kabar Pertja Selatan, yaitu Ford dan Chevrolet berkompetisi merebut konsumen. Pada tahun 1920-an ini, sedan Ford dipatok dengan harga Nlg 2.155, sedangkan Chevrolet seharga Nlg 2.195.
Sebuah foto berangka tahun 1930, menunjukkan kondisi di kawasan Jl. Pasar (Pasarstraat) 16 Ilir. Pada foto ini, tampak sebuah mobil yang terlihat jelas pelat nomornya. Dari sini, dapatlah diambil kesimpulan bahwa pemakaian hirif BG sebagai identitas nomor polisi kendaraan di Palembang –mungkin juga berlaku bagi kota lain di Indonesia—merupakan adopsi dari zaman Belanda. Ternyata, bukan hanya KUHP yang diadopsi dari negeri penjajah itu.
Tulisan ini berdasarkan penelitian dari berbagai sumber, baik tertulis maupun wawancara.
Selanjutnya: Pedagang Cungkukan, Kampung Cina, dan Pertokoan


dikutip dari: http://www.facebook.com/wall.php?id=1159207639&banter_id=1041908444&show_all#/note.php?note_id=56935593110&ref=mf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar