Senin, 02 Maret 2009

Pasar dan Bank Sumsel



Sumber: KITLV
Simpang tiga Jl. Sekolah (Schoolweg), Jl. Pasar (Pasarstraat), dan Jl. Keraton (Kratonweg) pada tahun 1935.











Perbankan Tumbuh di Pusat Perekonomian

Oleh Yudhy Syarofie






MELIHAT foto-foto lama yang menunjukkan kondisi Kawasan 16 Ilir tempo doeloe, tampaklah keteraturan. Pendapat ini memang bersifat debatable, misalnya dengan mengatakan, itu saat penduduk Palembang masih sedikit. Namun harus diakui, penataan yang dilakukan Pemerintah (Belanda) saat itu cukup apik. Namun, harus dicatat, bahwa saat itu kawasan ini tetap saja tidak bebas pedagang kaki lima. Artinya, semua berpulang kepada siapa yang mengatur dan bagaimana cara mengaturnya.
***
USAI penimbunan, Sungai Tengkuruk dijadikan jalan. Hal ini terkait dengan program Pemerintah Kolonial dalam penyediaan sarana “cari angin” bagi warga Eropa (soal sarana hiburan, nanti dibahas tersendiri). Ini merupakan rangkaian dari pembangunan jalan di depan Kuto Besak (kini Jl. SMB II), Staadhuisweg (kini Jl. Merdeka), jalan di tepian Sungai Sekanak samping Kantor Walikota saat ini (sekarang, Jl. Sekanak), dan Jl. Sekitar kawasan Talangsemut.
Sebuah foto bertahun 1930, menampakkan salah satu sudut jalan di Pasar 16 Ilir (dilihat dari arah Musem SMB II saat ini), menampakkan jalan dan trotoar yang bersih. Begitupun pengaturan arus lalu lintasnya. Tampak seseorang yang sedang menarik semacam gerobak penumpang. Dalam film-film kungfu Hongkong, becak serupa ini disebut rigshaw. Penariknya, seorang Cina yang rambutnya dikuncir. Tarif yang diterapkan seragam, yaitu sewang atau 10 sen.
Jalan Tengkuruk pun menjadi sarana jalan di samping sebagai sarana ruang publik. Namun, penikmatnya, seperti halnya taman lain --di depan Balai Pertemuan Sekanak, Kambang Iwak, dan beberapa tempat lain-- kebanyakan adalah orang Eropa.
Pola bulevar memungkinkan jalan ini menjadi sangat sedap dipandang. Selain trotoar yang disediakan bagi pejalan kaki, dan dilengkapi pula dengan lampu hias di bagian tengah (median)-nya dan pepohonan rindang di salah satu sisinya.
Sisi lain, bangunan pertokoan dan perkantoran (kini di bagian Jl. Tengkuruk Permai) tetap dipertahankan. Perlakuan sama juga atas pertokoan --umumnya dua tingkat-- di Jl Pasar Baru dan blok di Jalur 11 (nama saat ini).
Beberapa foto yang diambil antara tahun 1930-1958, menunjukkan, adanya penataan di kawasan itu yang mengarah kepada bentuk pusat perbelanjaan (pertokoan). Selain bangunan toko --ini tampak pula pada foto-foto yang diambil sebelum tahun 1930-an—yang berjajar, juga tampak adanya arkade. Yaitu, lorong yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dengan atap-atap di bagian atasnya.
Aktivitas perdagangan internasional, terutama karet (Hevea brasiliensis), tembakau, kopi, kapas (Exbucklandia populnea R. Brown), serta hasil bumi lainnya, menyebabkan kawasan ini pun menjadi “pusat” perbankan. Sepanjang tepian Sungai Musi dari Sekanak hingga 16 Ilir dipenuhi oleh rakit-rakit tumpahan. Rakit ini dimaksudkan untuk menampung hasil bumi, terutama karet, dari kawasan Uluan sebelum transaksi dilakukan.
Pada masa ini, bank niaga pertama yang membuka cabangnya di Keresidenan Palembang adalah Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) pada tahun 1900. Sementara De Javasche Bank, sebagai bank sirkulasi untuk bank niaga, membuka cabang di Palembang pada 20 September 1909. Dapat dikatakan, NHM merupakan “pemain tunggal” di Palembang selama dua dasawarsa.
Perkembangan perdagangan getah karet yang luar biasa setelah tahun 1910, membuat beberapa manajemen bank membuka cabang di Palembang. Setelah tahun 1920, berdirilah kantor cabang Nederlandsche Indische Escompto Maatschapij, Nederlandsche Indische Handelsbank, dan Hong Ho (perusahaan bank Cina).










Sumber: KITLV
Jl. Sekanak, tempat pelesiran orang-orang Eropa. Foto diambil tahun 1900.









Bank-bank yang kesemuanya berkantor di kawasan 16 Ilir ini membiayai hampir semua perdagangan karet dan kopi di Keresidenan Palembang. Sistem yang dipakai kala itu adalah gadai konsinyasi atau kredit yang diterima. Pihak bank membuat daftar dagang berjangka. Semua jenis tanaman yang tecantum di dalam daftar ini dapat dipakai sebagai bahan gadai di bank. Pembelian dan penjualan harus dilakukan melalui pialang yang diakui Kamar Dagang. Para pedagang pun dapat menggadaikan karet atau kopinya kepada bank. Komoditas ini kemudian disimpan di dalam gudang (veem) dan dapat mengambilnya kembali apabila utang sudah lunas. Pedagang juga dapat mengambil kredit di bank apabila memiliki surat tertulis dari pialang yang menyatakan bahwa sang pemohon kredit akan menyerahkan komoditas (misalnya, karet) dalam jangka waktu tertentu.

Bank Sumsel
DENGAN kondisi perbankan serupa ini, tidaklah mengherankan apabila kemudian –pada masa kemerdekaan—pemerintah mendirikan bank milik daerah di kawasan ini. Karena situasi dan kondisi politik yang tidak memungkinkan menjelang akhir tahun 1950-an, pemerintah memberlakukan darurat perang. Karenanya, kebijakan pembangunan banyak dipegang oleh militer.
Panglima Ketua Penguasa Perang Daerah Tentara dan Territorium (TT) II Sriwidjaja Tingkat I Sumatera Selatan, Letkol Barlian, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 132/SEP/’58 pada 10 April 1958. SK mengenai pendirian Bank Pembangunan Sumatera Selatan ini berlaku surut mulai 6 November 1957. Dengan demikian, 6 November 1957 dicatat sebagai hari lahir PT Bank Pembangunan Sumatera Selatan.
Panglima Ketua Penguasa Perang Daerah TT II Sriwidjaja Tingkat I Sumatera Selatan, Letnan Kolonel Harun Sohar, yang menggantikan Letkol Barlian pada 14 Mei 1958, kemudian mendaftarkan pendirian PT Bank Pembangunan Sumatera Selatan ke Notaris Tan Thong Kie, 29 September 1958, sehingga tercatat sebagai Akta Notaris No. 54 (Tambahan Berita-Negara RI 17/7-1959 No. 57).
Pendirian bank ini didaftarkan oleh Mayor TNI Roesnawi, Kepala Staf Harian Penguasa Perang TT II Sriwidjaja, atas kuasa Letnan Kolonel Harun Sohar, Penjabat Panglima Penguasa Perang TT II Sriwidjaja. Pendaftar kedua adalah Mr. H. Makmoen Soelaiman, Penjabat Presiden Direktur Bank Pembangunan Sumatera Selatan.
Bank ini, terletak di kawasan Jl. Tengkuruk (kini Jl. Jenderal Sudirman), menempati eks-Gedung Sekolah Misi Methodist. Sejak didirikan awal abad ke-20 hingga tahun 1950-an, masyarakat Palembang menyebutnya sebagai sekolah Inggris dan jalan itu masih disebut sebagai Jalan Sekolah. Ini mengacu kepada nama jalan semasa pemerintah kolonial, yaitu Schoolweg.



Dikutip dari: http://www.facebook.com/home.php#/photo.php?pid=30152948&op=1&view=all&subj=54104458110&aid=-1&oid=54104458110&id=1598876628

Tidak ada komentar:

Posting Komentar